Benny Wenda Sang Manipulator
Data statistik menunjukkan jumlah penduduk Papua Barat berjumlah 963.600 jiwa pada 2019. Jumlah tersebut terdiri atas 457.200 jiwa penduduk perempuan dan 506.400 jiwa laki-laki.
Sebelum lebih jauh mengkritisi keabsahan petisi tersebut, perlu dicatat bahwa Benny Wenda adalah pelaku kriminal. Pada 2002 silam, Pengadilan Negeri Jayapura menjatuhkan vonis penjara kepadanya setelah terbukti secara sah menjadi otak pembunuhan seorang anggota polisi asal Sentani. Ia juga terbukti sebagai pelaku pembakaran kantor polisi di Abepura setahun sebelumnya.
Ia kemudian kabur dari penjara dan melarikan diri ke Papua Nugini (PNG). Belakangan ia kemudian mendapat suaka dari Pemerintah Inggris. Meski telah hidup mewah dalam pelariannya di Oxford, namun tidak membuat ia lepas dari statusnya sebagai pelaku kriminal.
Dalam pelariannya itu, Benny Wenda kemudian aktif mengampanyekan informasi yang tidak benar tentang Papua hari ini kepada dunia internasional.
Yang terbaru, ia melakukan permufakatan jahat dengan delegasi Vanuatu untuk menipu Komisioner Komisi Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet. Ia disusupkan oleh rombongan delegasi Vanuatu saat pembahasan laporan penegakan HAM tahunan (Universal Periodic Review) Vanuatu oleh KTHAM PBB di Jenewa, Jumat (25/1/2019) lalu.
Alih-alih mendapat simpati internasional, justru aksi manipulatif yang dilakukan Benny Wenda dengan “bantuan” Vanuatu semakin membuka mata PBB dan publik internasional bahwa dia dengan organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) adalah manipulator besar yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Aksinya bersama delegasi Vanuatu yang telah menipu KTHAM, jelas melecehkan PBB dan sangat bertentangan dengan etika dan protokol internasional. Ini juga telah menunjukkan “kelas” mereka berdiplomasi yang tidak menghargai PBB dan tataran diplomasi di level internasional.
Pesan paling penting yang ditangkap oleh publik internasional dari peristiwa ini adalah Benny Wenda seorang manipulator. Insiden memalukan itu akhirnya membuka mata publik internasional bahwa ia bukanlah orang yang layak dipercaya.
Klaim 1,8 juta tanda tangan patut dipertanyakan, mengingat saat ini jumlah orang asli Papua (OAP) dewasa yang diklaim sebagai penanda tangan belum sebanyak itu.
Hal lain yang patut diragukan kebenarannya mengenai waktu pengumpulan tanda tangan yang hanya beberapa bulan, sementara wilayah Papua sangat luas dengan alam yang sulit ditempuh.
Tidak ada komentar